Buku merupakan kumpulan lembaran
kertas yang tersusun menjadi satu, berisi informasi tercetak dan tersusun
sistematis dan dilindungi dengan cover. Buku biasanya memiliki minimal 48
halaman. Pada hakikatnya, buku menyimpan peranan yang begitu besar bagi
masyarakat dalam menambah wawasan dan meningkatkan pengetahuan diri.
Di era digital seperti saat ini, buku memang bukan lagi satu-satunya
sumber informasi. Dengan berkembangnya internet, daya tarik buku yang dahulu
tinggi menjadi menurun dikarenakan banyak orang lebih memilih untuk melakukan browsing dibandingkan membeli dan
membaca buku.
Industri buku di Indonesia kembali hangat diperbincangkan. Kondisi ini
seiring dengan peringatan hari buku nasional yang jatuh pada 23 Mei 2011.
Disinyalir perkembangan daya baca dan daya beli masyarakat Indonesia terhadap
buku masih (tetap) saja rendah. Sehingga
“rendahnya minat baca” dan “mahalnya harga buku” sering disebut-sebut
sebagai penyebab utama mengapa industri dan tata niaga buku di Indonesia belum
juga bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.
Ada dua pendapat
yang berbeda mengenai persoalan rendahnya minat baca masyarakat. Pendapat
pertama menegaskan, harga buku yang mahal untuk sebagian besar masyarakat
(dibandingkan dengan rata-rata pendapatan penduduk) merupakan penyebab utama
rendahnya permintaan terhadap buku. Pendapat yang
kedua menyatakan, minat baca masyarakat yang masih rendahlah yang menjadi
penyebabnya dan hal itu tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa buku belum
menjadi salah satu kebutuhan masyarakat kita.
Kondisi itu
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2003 mensinyalir penduduk
Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran pada minggu hanya 55,11%.
Sedangkan yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22%, buku cerita 16,72%,
buku pelajaran sekolah 44,28% dan yang membaca ilmu pengetahuan lainnya hanya
21,07%.
Dengan merujuk pada kedua asumsi di atas, secara garis besar dapat
disimpulkan eksistensi buku dalam anggaran belanja keluarga Indonesia belum
termasuk kategori kebutuhan utama. Mengapa demikian? Beberapa kalangan menilai
tipikal budaya membaca orang Indonesia sangat unik, banyak orang membaca
sewaktu-waktu saja dan hanya sedikit
orang Indonesia yang benar-benar menjadikan media cetak, baik sebagai
sarana memperoleh hiburan maupun untuk memperoleh informasi.
Memasuki era digital seperti sekarang, ternyata memang benar bahwa buku
sudah jarang dilirik oleh masyarakat. Terutama masyarakat awam yang memang
kurang suka untuk membaca. Selain itu, masih banyak faktor yang menggambarkan
potret buram industri dan tata niaga buku di Indonesia. Kondisi itu disebabkan
faktor konsumen buku, kebijakan pemerintah tentang perbukuan, distribusi buku
yang belum merata, rendahnya produksi buku nasional, rendahnya minat baca,
mahalnya harga buku, dan berkembangnya teknologi digital.
Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jakarta 2011 menunjukkan
hanya 15 persen penerbit meyakini ada keberpihakan pemerintah. Masyarakat
memang mengapresiasi pembentukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dua
tahun lalu, tetapi kehadirannya belum memberikan dampak langsung pada
pertumbuhan industri buku. Padahal persentase nilai tambah ekonomi kreatif
subsektor penerbitan dan percetakan menempati urutan tertinggi dibandingkan
dengan 12 subsektor ekonomi kreatif lain, sebesar 17,5 persen.
Terkait dengan berkembangnya teknologi digital yang semakin mewabah,
para pengamat perbukuan menilai, industri buku di Indonesia akan semakin
tersisih. Prediksi itu didasarkan asumsi, generasi muda Indonesia lebih
cenderung memilih website dalam berburu informasi dan hiburan ketimbang buku.
Pertimbangan lain, digital menawarkan produk yang murah dan mudah. Hanya
tinggal mengklik tema tertentu, sesuatu yang dibutuhkan akan hadir dihadapan.
Tidak perlu susah-susah mengunjungi toko buku, transaksi yang lama dan
menghabiskan waktu.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pelaku bisnis perbukuan di Indonesia
setidaknya perlu melakukan terobosan dalam upaya memback up perubahan peradaban
ini. Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya penerbit memanfaatkan teknologi
digital untuk menghadirkan informasi buku, baik resensinya maupun harga jual
serta pelayanan pesanan. Kemudahan lain yang dapat dikolaborasikan, penerbit
memanfaatkan format buku digital (e-book) untuk pembacanya.
Disisi lain, budaya lisan juga ikut mempengaruhi kolerasi budaya baca
sehingga pada akhirnya mempengaruhi selera beli dan daya beli mereka. Belum
lagi surut lompatan budaya lisan, lahirlah budaya audio-visual berupa televisi.
Kehadiran televisi di tahun 1970-an serta merta
mendorong tradisi lisan ikut terkontaminasi. Hingga tahun 2010
saat ini
terdapat 9.345 program televisi dan 11 jaringan televisi nasional serta
95
televisi lokal yang telah siaran (data Nielsen, Juni 2010). Kehadiran
televisi dalam tataran industri buku, menjadi ancaman terselubung.
Bagaimana tidak, perkembangan media visual yang terus melaju melahirkan
banyak
pilihan dalam hal informasi dan hiburan. Dampaknya, masyarakat pada
umumnya
menjatuhkan pilihan utama sebagai sarana rekreatif dan informatif pada
televisi.
Pepatah tentang “buku gudangnya ilmu dan membaca adalah kuncinya”,
seakan tak berarti di negeri ini. Meskipun Bank Dunia mengemukakan pertumbuhan
kelas menengah Indonesia meningkat pesat selama tujuh tahun terakhir. Pada
2003, jumlah kelas menengah hanya 37,7 persen dari total populasi, sedangkan
pada 2010 kelas menengah Indonesia mencapai 134 juta jiwa atau 56,5 persen (HU
Pikiran Rakyat, 2/5/2011) ternyata tidak signifikan dengan peningkatan pembaca
buku.
Masih minimnya pembaca buku masyarakat negeri ini, setidaknya jangan hanya diperdebatkan saja. Kita membutuhkan solusi alternatif dalam
meningkatkan kegemaran membaca. Guru di sekolah, orang tua di rumah, dan
penerbit serta pemangku kepentingan menjadi tumpuan harapan menjadi cikal bakal
tradisi membaca semakin tumbuh. Era digital bukanlah alasan untuk menyisihkan
buku dari hadapan kita, justru digital dapat dimanfaatkan sebagai pendukung
tumbuhnya minat baca masyarakat. Oleh sebab itu, mulailah membudayakan tradisi
membaca dengan 3S, di Sini, Sekarang, dan dari diri Sendiri!
Referensi:
No comments:
Post a Comment