Monday, October 29, 2012

Industri Buku Indonesia di Era Digital


Buku merupakan kumpulan lembaran kertas yang tersusun menjadi satu, berisi informasi tercetak dan tersusun sistematis dan dilindungi dengan cover. Buku biasanya memiliki minimal 48 halaman. Pada hakikatnya, buku menyimpan peranan yang begitu besar bagi masyarakat dalam menambah wawasan dan meningkatkan pengetahuan diri.
 
Di era digital seperti saat ini, buku memang bukan lagi satu-satunya sumber informasi. Dengan berkembangnya internet, daya tarik buku yang dahulu tinggi menjadi menurun dikarenakan banyak orang lebih memilih untuk melakukan browsing dibandingkan membeli dan membaca buku.

Industri buku di Indonesia kembali hangat diperbincangkan. Kondisi ini seiring dengan peringatan hari buku nasional yang jatuh pada 23 Mei 2011. Disinyalir perkembangan daya baca dan daya beli masyarakat Indonesia terhadap buku masih (tetap) saja rendah. Sehingga  “rendahnya minat baca” dan “mahalnya harga buku” sering disebut-sebut sebagai penyebab utama mengapa industri dan tata niaga buku di Indonesia belum juga bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.

Ada dua pendapat yang berbeda mengenai persoalan rendahnya minat baca masyarakat. Pendapat pertama menegaskan, harga buku yang mahal untuk sebagian besar masyarakat (dibandingkan dengan rata-rata pendapatan penduduk) merupakan penyebab utama rendahnya permintaan terhadap buku. Pendapat yang kedua menyatakan, minat baca masyarakat yang masih rendahlah yang menjadi penyebabnya dan hal itu tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa buku belum menjadi salah satu kebutuhan masyarakat kita.   

Kondisi itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2003 mensinyalir penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran pada minggu hanya 55,11%. Sedangkan yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22%, buku cerita 16,72%, buku pelajaran sekolah 44,28% dan yang membaca ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07%.

Dengan merujuk pada kedua asumsi di atas, secara garis besar dapat disimpulkan eksistensi buku dalam anggaran belanja keluarga Indonesia belum termasuk kategori kebutuhan utama. Mengapa demikian? Beberapa kalangan menilai tipikal budaya membaca orang Indonesia sangat unik, banyak orang membaca sewaktu-waktu saja dan hanya sedikit  orang Indonesia yang benar-benar menjadikan media cetak, baik sebagai sarana memperoleh hiburan maupun untuk memperoleh informasi.

Memasuki era digital seperti sekarang, ternyata memang benar bahwa buku sudah jarang dilirik oleh masyarakat. Terutama masyarakat awam yang memang kurang suka untuk membaca. Selain itu, masih banyak faktor yang menggambarkan potret buram industri dan tata niaga buku di Indonesia. Kondisi itu disebabkan faktor konsumen buku, kebijakan pemerintah tentang perbukuan, distribusi buku yang belum merata, rendahnya produksi buku nasional, rendahnya minat baca, mahalnya harga buku, dan berkembangnya teknologi digital.

Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jakarta 2011 menunjukkan hanya 15 persen penerbit meyakini ada keberpihakan pemerintah. Masyarakat memang mengapresiasi pembentukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dua tahun lalu, tetapi kehadirannya belum memberikan dampak langsung pada pertumbuhan industri buku. Padahal persentase nilai tambah ekonomi kreatif subsektor penerbitan dan percetakan menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan 12 subsektor ekonomi kreatif lain, sebesar 17,5 persen.

Terkait dengan berkembangnya teknologi digital yang semakin mewabah, para pengamat perbukuan menilai, industri buku di Indonesia akan semakin tersisih. Prediksi itu didasarkan asumsi, generasi muda Indonesia lebih cenderung memilih website dalam berburu informasi dan hiburan ketimbang buku.

Pertimbangan lain, digital menawarkan produk yang murah dan mudah. Hanya tinggal mengklik tema tertentu, sesuatu yang dibutuhkan akan hadir dihadapan. Tidak perlu susah-susah mengunjungi toko buku, transaksi yang lama dan menghabiskan waktu.

Untuk menjawab tantangan tersebut, pelaku bisnis perbukuan di Indonesia setidaknya perlu melakukan terobosan dalam upaya memback up perubahan peradaban ini. Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya penerbit memanfaatkan teknologi digital untuk menghadirkan informasi buku, baik resensinya maupun harga jual serta pelayanan pesanan. Kemudahan lain yang dapat dikolaborasikan, penerbit memanfaatkan format buku digital (e-book) untuk pembacanya.

Disisi lain, budaya lisan  juga ikut mempengaruhi kolerasi budaya baca sehingga pada akhirnya mempengaruhi selera beli dan daya beli mereka. Belum lagi surut lompatan budaya lisan, lahirlah budaya audio-visual berupa televisi. Kehadiran televisi di tahun 1970-an serta merta  mendorong tradisi lisan ikut terkontaminasi. Hingga tahun 2010 saat ini terdapat 9.345 program televisi dan 11 jaringan televisi nasional serta 95 televisi lokal yang telah siaran (data Nielsen, Juni 2010). Kehadiran televisi dalam tataran industri buku, menjadi ancaman terselubung. Bagaimana tidak, perkembangan media visual yang terus melaju melahirkan banyak pilihan dalam hal informasi dan hiburan. Dampaknya, masyarakat pada umumnya menjatuhkan pilihan utama sebagai sarana rekreatif dan informatif pada televisi.

Pepatah tentang “buku gudangnya ilmu dan membaca adalah kuncinya”, seakan tak berarti di negeri ini. Meskipun Bank Dunia mengemukakan pertumbuhan kelas menengah Indonesia meningkat pesat selama tujuh tahun terakhir. Pada 2003, jumlah kelas menengah hanya 37,7 persen dari total populasi, sedangkan pada 2010 kelas menengah Indonesia mencapai 134 juta jiwa atau 56,5 persen (HU Pikiran Rakyat, 2/5/2011) ternyata tidak signifikan dengan peningkatan pembaca buku.

Masih minimnya pembaca buku masyarakat negeri ini, setidaknya jangan hanya diperdebatkan saja. Kita membutuhkan solusi alternatif dalam meningkatkan kegemaran membaca. Guru di sekolah, orang tua di rumah, dan penerbit serta pemangku kepentingan menjadi tumpuan harapan menjadi cikal bakal tradisi membaca semakin tumbuh. Era digital bukanlah alasan untuk menyisihkan buku dari hadapan kita, justru digital dapat dimanfaatkan sebagai pendukung tumbuhnya minat baca masyarakat. Oleh sebab itu, mulailah membudayakan tradisi membaca dengan 3S, di Sini, Sekarang, dan dari diri Sendiri!

Referensi:

No comments:

Post a Comment